Banyumas,KOMPASGRUPS.com -Pedagang kaki lima (PKL) adalah usaha perdanganan sector informal yang merupakan perwujudan sector informal yang merupakan perwujudan hak masyarakat dalam berusaha dan perlu diberikan kesempatan untuk berusaha, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pedagang kaki lima pun menggunakan fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah atau swasta yang bersifat sementara atau tidak menetap, dan pedagang kaki lima menjual barang dagangan nya di depan toko, maupun menggunakan grobak dorongan kecil dan kios kecil.
Di dalam pasal 38 ayat 2 UU no 39 tahun 1999 mengenai hak asasi manusia menyatakan Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Dan pasal ini dapat di artikan bahwa Pedagang kaki lima pun mempunyai hak atas pekerjaan yang ia pilih.
Kali ini langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas dalam mensterilkan aset di kawasan Kebondalem, Purwokerto, menuai kekecewaan dari para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di depan bekas Toko Metro.
Para pedagang yang terkena imbas menilai penertiban dilakukan secara mendadak dan tidak menyeluruh, sehingga terkesan diskriminatif.
Menurut keterangan salah satu PKL yang terdampak dari langkah PemKab Banyumas Raden Hendro Suharcaryo (57), yang biasa disapa "Koki Gendut" mengungkapkan kekecewaannya setelah diminta angkat kaki dari lokasi tersebut. Hendro menyebut seluruh peralatan dagangnya sudah diangkut karena adanya pemasangan seng penutup di area bekas Toko Metro.
Lanjut Hendro "Ada pemberitahuannya, tapi kami tidak menyangka bakal langsung dipasang seng. Saya pikir masih bisa berjualan. Yang penting jangan ditutup pakai seng," ujarnya, Jum'at (9/5/2025).
Bukan hanya dirinya, sejumlah PKL lain seperti penjual ayam abang, nasi, dan cimol juga dilarang berjualan. Penutupan sepihak ini dinilai Hendro tidak adil karena hanya menyasar sebagian pedagang di kawasan Kebondalem saja.
Hendro meminta "Kalau mau disterilkan, harusnya semuanya. Jangan hanya di depan Metro. Di sisi utara, timur, sampai Cafe Sarinah dan Vermont juga masih buka. Itu semua lahan Pemda juga,” tegasnya.
Selanjutnya menurut pandangan Hendro, langkah penertiban ini seolah hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang masih bisa tetap beroperasi meskipun status lahannya sama-sama ilegal.
Hendro juga menerangkan bahwa dirinya telah mengajukan permohonan untuk tetap berjualan di depan seng, namun ditolak oleh pihak berwenang. "Kami sudah minta izin, tapi ditolak. Padahal kami hanya pedagang kecil. Malah yang tetap jalan tempat-tempat usaha besar. Ini yang kami anggap tidak adil," katanya.
Hendro menambahkan bahwa selama berjualan di berbagai titik di Purwokerto sejak tahun 2003, ia selalu harus berhadapan dengan pungutan liar oleh oknum preman setempat. Termasuk saat ia berjualan di Kebondalem pasca pandemi Covid-19.
Lanjutnya "Sejak 2003 saya mulai dari depan Harapan Jaya, pindah-pindah, terakhir di Kebondalem. Kami pedagang kecil, sejak dulu selalu ditarik setoran oleh preman. Tapi tidak pernah mengeluh, yang penting bisa jualan," ungkapnya.
Menurut Hendro menegaskan, dirinya tidak menolak kebijakan pengembalian aset ke Pemkab Banyumas. Namun, ia berharap proses tersebut dilakukan secara transparan, adil, dan tidak merugikan usaha mikro yang bergantung pada lokasi-lokasi tersebut untuk bertahan hidup.
"Seharusnya kalau memang Pemkab ingin menata ulang aset Kebondalem, tolong adil. Jangan tebang pilih, Semua disterilkan, dan kami dibantu cari tempat baru, bukan cuma disingkirkan," pungkasnya.
Para PKL berharap ada solusi konkrit dari Pemkab Banyumas agar mereka tetap bisa menjalankan usaha tanpa merasa dianaktirikan dalam kebijakan penataan kota.
Mungkin jika pelaksanaan penertiban yang lebih merata dan pendekatan humanis, pemerintah kabupaten diharapkan mampu menjaga ketertiban sekaligus melindungi hak penghidupan masyarakat kecil. (Bah gatan)
0 Komentar