Foto seorang pengacara bersama tergugat
BANYUWANGI, KOMPASGRUPS.COM – Sebuah sengketa lahan di Banyuwangi berubah menjadi medan pertempuran antara penguasa dan rakyat jelata. Bupati Banyuwangi menggugat warganya sendiri senilai Rp30 miliar! Pertanyaan yang muncul: apakah pajak rakyat kini digunakan sebagai 'peluru' untuk melawan rakyat.
Sidang sengketa lahan Rest Area Cerung di Desa Tegalharjo, Kecamatan Glenmore, memasuki babak baru yang mengejutkan. Pada Rabu (10/9/2025), drama persidangan diwarnai penolakan saksi dari pihak penggugat. Kuasa hukum tergugat, Krisno Jatmiko, S.H., M.H., dengan lantang menyebut saksi yang merupakan ASN Pemkab Banyuwangi itu tidak independen. "Bagaimana mungkin saksi yang jelas-jelas utusan Bupati saat mediasi bisa obyektif? Ini tangan panjang penggugat!," tegas Krisno. Majelis hakim pun sepakat dan menolak saksi tersebut.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah substansi gugatan itu sendiri. Krisno menohok, "Ini contoh telanjang bagaimana kekuasaan dipakai untuk menindas. Negara harusnya jadi benteng rakyat, bukan malah menggugat rakyatnya sendiri!"
Ironi mencapai puncaknya saat disadari bahwa biaya perkara ini berasal dari pajak rakyat. "Rakyat dipaksa membiayai negara untuk menggugat rakyat. Parodi hukum macam apa ini?" kecam Krisno dengan nada pedas.
Gugatan Rp30 miliar ini sontak menuai kecaman publik. Warga menilai, kasus ini adalah potret ketimpangan antara penguasa dan rakyat kecil. Kuasa hukum warga menegaskan akan melawan habis-habisan gugatan tersebut.
Sidang berikutnya akan menghadirkan saksi dari pihak tergugat. Masyarakat Banyuwangi kini menanti dengan napas tertahan: mampukah pengadilan menjadi ruang keadilan, atau hanya panggung bagi kekuasaan untuk menindas rakyat kecil. (Atmaja)